Pendidikan Artifisial

Pendidikan Buatan 
Oleh: HELMI UMAM

Faktum 1 

Pernahkah suatu ketika saudara teronggok pasrah merasa tak berguna, saat ada seorang copet mengutip barang berharga ibu-ibu tua. Dan pada saat semua itu berlangsung, saudara diam saja. Sepanjang perjalanan, apa yang saudara pikirkan setelahnya? Adakah penyesalan bercampur amarah? Sesampainya di rumah, apa yang saudara lakukan berikutnya? Hanya menceritakannya, ataukah hanya menjadikannya pelajaran untuk orang-orang di sekitar saudara? 

Faktum 2 

Saat mendengarkan ceramah dari seorang pemuka agama yang saudara kenal, tiba-tiba pikiran saudara melayang bahwa yang penceramah itu nasihatkan tidak berkesesuaian dengan kehidupannya. Beliau menasihatkan kelemahlembutan, padahal beliau sendiri tidak akur dengan saudaranya sendiri. Beliau menasihatkan kedermawanan, padahal saudara tahu beliau sendiri jauh dari figur penderma. 

Faktum-faktum di atas hanya contoh dari ratusan fakta yang kita temukan sehari-hari. Ada banyak penyimpangan yang kita biarkan begitu saja. Seolah semua fakta berkhianat terhadap pengetahuan yang kita dapatkan. Kenapa demikian? Jawabannya tentu bisa ratusan. Salah satu jawaban yang paling tidak kita sadari adalah, karena kita semua adalah produk dari pendidikan buatan.

Lazimnya dunia, semua nama memiliki dua jenis, alami dan buatan. Pemanis alami, pemanis buatan. Kolam alami, kolam buatan. Hujan alami, hujan buatan. Sekolah alami, sekolah buatan. Setiap yang buatan adalah versi instan dari yang alami. Pemanis buatan diciptakan agar kita lebih mudah menciptakan rasa manis meski tidak mampu mengakses yang alami. Hujan buatan dibikin karena hujan alami tak kunjung datang.

Sekolah (formal) yang biasa kita kenal selama ini semuanya adalah buatan. Ia sengaja dibentuk sebagai laboratorium untuk menduplikasi yang alami. Sekolah adalah maket dari sekolah alam yang lebih luas, alam di luar sekolah. Namanya juga maket, semua ukuran adalah versi kecilnya. Semua bagiannya dipotong, bahkan banyak yang sengaja dihilangkan. Biasanya, bagian yang paling sering dihilangkan adalah bagian buruknya, sampah-sampahnya. Maket selalu tampak bersih dan manis. Maket tidak mengenal sampah dan kepahitan.

Namanya juga maket, ia tidak bisa ditinggali, ia palsu. Membawa perspektif maket ke ruang aslinya biasanya menyebabkan disorientasi. Berpatok pada pelajaran di sekolah saja untuk hidup di dunia nyata juga menyebabkan yang demikian, mabuk temporer. Kita akan dibuat bingung, berkunang-kunang seolah mengalami kesurupan. Apalagi jika sekolahnya di luar negeri, maka kesurupannya akan makin lama, mungkin karena maketnya makin sempurna di sana.

Entah mengapa, yang sebenarnya buatan ini justru yang jadi pengendali, mengalahkan yang alami. Sekolah menjadi jalan keselamatan satu versi untuk kehidupan nyata yang alami. Bagaimana bisa, model piktorial ini mengambil alih rasio yang sebenarnya. Maka, tidak bisa dihindari, banyak pengetahuan bawaan ala sekolahan yang meleset ketika diterapkan dalam kehidupan nyata, tidak kompatibel dengan situasi riil bermasyarakat. Para cerdik pandai banyak yang terus "mabuk" mengumbar konsep-konsep kebaikan semata, namun kemudian pasrah teronggok tak berguna di hadapan sekelompok copet.

Contoh terakhir, ada berapa sekolah dan lembaga pendidikan yang memperkenalkan mata pelajaran tentang kekerasan? Dijamin, pasti tidak ada!!! Kekerasan -fisik maupun psikis- adalah sampah yang harus ditutupi di maket, ia borok yang harus diingkari. Namun, apakah dengan demikian kekerasan tidak benar-benar nyata?! Kekerasan itu nyata, ia ada dalam kehidupan. Pilihannya, apakah sebaiknya anak-anak kita didik untuk mengingkari kekerasan ataukah sebaliknya, kita perkenalkan bahwa kekerasan itu ada dan harus dikelola. Sekolah buatan biasanya tidak kapabel mengelola kekerasan, biasanya kekerasan dikutuk di sana. Setelah dikutuk, kekerasan biasanya akan diserahkan begitu saja kepada mekanisme hukum.

Kekerasan, hanya bisa dipelajari secara paripurna di sekolah alami, di tengah masyarakat. Anak-anak kita semestinya diajarkan bahwa hidup ini tidak bersih dari perangai keras. Anak-anak harus diajari dengan keras tentang kekerasan.

Kekerasan itu harus dilatihkan sehingga kita bisa mengelolanya. Mengajari anak-anak beladiri (secara tepat) adalah tuntutan, mungkin itu cara terbaik mengelola kekerasan. Orang-orang jaman dahulu tidak mereduksi apapun yang terjadi di sekolah alami, semuanya diajarkan. Sekolah alami mengajari kita cara bergaul, berkompetisi dan sesekali mengajari melumpuhkan kekerasan-kekerasan yang liar.

Marilah terus kita ratapi, bahwa banyak teori yang tidak berfungsi. Sekolah hanya memproduksi cara dialog dengan kawan pemeluk agama lain, tapi alam mengajari bagaimana hidup berdampingan dengan mereka. Sekolah hanya menunjukkan bagaimana cara bersedekah dan hitung-hitungannya, tapi kehidupan nyata mengajarkan bagaimana kerjasama adalah kekuatan tanpa hitungan. Sekolah hanya menyediakan kurikulum menghafal dalil-dalil agama, tapi alam semesta mendidik kita agar hidup seimbang. Sekolah mengingkari kekerasan, tapi dunia menghendakinya ada dan kita diciptakan untuk bisa mengendalikan.

*diedit seperlunya dari Facebook Note penulis.

No comments:

Post a Comment